Film "Perang Kota" Usung Audio Dolby Atmos dan Kamera Dinamis Film "Perang Kota" Usung Audio Dolby Atmos dan Kamera Dinamis ~ Teknogav.com

Film "Perang Kota" Usung Audio Dolby Atmos dan Kamera Dinamis


Teknogav.com - Penulis dan sutradara peraih dua Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia (FFI), Mouly Surya kembali membuat gebrakan. Kali ini, Mouly mengadaptasi novel karya Mochtar Lubis, yaitu "Jalan Tiada Ujung" ke dalam film "Perang Kota". Film persembahan Cinesurya, Starvision dan Kaninga Pictures ini akan ditayangkan di jaringan bioskop mulai 30 April 2025. Kisah dalam film ini menggambarkan Jakarta di tahun 1946 dalam perang, cinta dan pengkhianatan. 

Keistimewaan film "Perang Kota" yang terlahir dari tangan dingin sutradara berbakat Mouly Surya ada pada penggunaan teknologi Dolby Atmos. Teknologi surround sound ini menyajikan pengalaman audio film yang terasa sangat realistis dan mendalam. Teknik pengambilan gambar pada film ini membuat penonton memicingkan mata yang berarti akan lebih dekat dengan setiap karakter.

Baca juga: Film Rahasia Rasa Padukan Nasionalisme dengan Pelestarian Kuliner Indonesia

Tata suara film "Perang Kota" ini digarap Vincent Villa, sound designer asal Perancis, di Kamboja. Vincent Villa juga banuak terlibat di film-film peraih penghargaan dan berkompetisi di festival film internasional. Penggarapan sound foley film ini dilakukan oleh Yellow Cab di Paris. Yellow Cab adalah salah satu desainer foley terbaik di ranah internasional. Dua film pemenang Piala Oscar yang digarapnya mencakup "Emilia Perez dan "Fight Club".

Mouly sudah menulis skenario film ini sejak tahun 2018. Sejak awal, Moily sudah berniat membuat film klasik dengan latar tahun 1940an. Penyusunan skenario film ini tentu saja sudah berdiskusi dengan banyak sejarawan, bahkan judul "Perang Kota" terinspirasi dari mereka. Kendati demikian, film ini bukan dokumenter, kisah di dalamnya fiksi. Film ini ditujukan untuk dapat merasakan keseharian pahlawan yang tak dikenal di masa itu.

Kisah dalam Film "Perang Kota"

Visual konflik batin dan perang menjadi film periodik yang menyajikan interpretasi segar ditampilkan oleh pergerakan kamera dari sinematografer Roy Lolang. Beliau adalah seorang sinematografer peraih empat nominasi Sinematografi Terbaik FFI. Rasio aspek 4:3 digunakam untuk menghasilkan estetika sekaligus naratif, serta menambah kesan klasik. Bentuk yang hampir persegi menciptakan suasana intim dan fokus pada karakter.

Kisah dalam film ini bertempat di Jakarta saat Belanda kembali menjajah di tahun 1946, masa setelah Indonesia merdeka. Saat itu, Jakarta mengalami kekacauan, serta mulai ditinggalkan warga dan pemimpinnya. Para anak muda pun berjuang bergerilya mempertaruhkan nyawa dan harga diri agar Indonesia tidak kembali dijajah.

Setahun setelah kemerdekaan Indonesia, Jakarta menjadi medan perang antara pejuang kemerdekaan dan tentara Sekutu yang ditunggangi Belanda. Nuansa vintage Jakarta dengan lanskap bangunan tuanya diwarnai razia, penangkapan, penembakan, sampai bakar-bakaran, suasana kota terasa bergejolak di tengah peperangan. 

Pertempuran kecil terjadi di mana-mana, banyak keluarga kehilangan anggota keluarga,  bahan makanan susah diperoleh dan harganya melambung tinggi Situasi yang mencekam tersebut bahkan membuat ibukota dipindahkan darurat ke Yogyakarta.

"Saya ingin menunjukkan kehidupan orang-orang yang berada dalam masa peperangan, dalam konteks di suatu kota yang berada di bawah tekanan. Dengan memberikan banyak warna, ada cinta hingga banyak gejolak yang terjadi. Gaya 1946 juga ditampilkan dengan mendesain kota Jakarta yang banyak memiliki gang-gang sempit. Ini menjadi seperti metafora bahwa perang gerilya ada di Indonesia. Pertarungan dan peperangan tak terjadi di jalan-jalan besar, tapi lewat jalan-jalan kecil, ucap Mouly.

Mouly Surya, penulis skenario dan sutradara film 'Perang Kota'

Baca juga: Film “Tulang Belulang Tulang”, Kisah Petualangan Keluarga Batak Pertahankan Tradisi

Karakter Utama Film 'Perang Kota'

Tiga tokoh utama dalam film ini terdiri dari Isa, Fatimah dan Haxil yang memiliki pesonanya masing-masing. Isa (diperankan Chicco Jerikho )adalah seorang guru musik yang berjuang untuk keseharian. Dalam perjuangan tersebut, Isa didampingi Fatimah (diperankan Ariel Tatum), istrinya yang memiliki perang batinnya sendiri. Hazil (diperankan Jerome Kurnia) adalah murid Isa yang bersikeras dengan semangat perjuangannya. Ketiga karakter utama ini penuh intrik yang berkelindan dengan kekacauan kota dan batin yang berkecamuk.

Isa yang mengalami trauma tak dapat memuaskan Fatima yang menginginkan kehangatan suaminya. Hazil pun menjadi pemuasan hasrat Fatimah. Cinta segitiga tersebut diracik apik dengan perjuangan dan pengkhianatan, sehingga terlihat tetap luwes. Menurut Chicco, karakter Isa memiliki dimensi berlapis, selain menghadapi masalah impoten, Isa juga harus berjuang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Isa di film ini memiliki spektrum yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan yang ada di bukunya. Mouly memberikan multi-dimensi untuk karakter Isa yang harus saya refleksikan di dalam film. Ia sosok yang flamboyan, pejuang, tetapi juga punya perjuangannya sendiri di rumah tangganya bersama Fatimah. Dengan sisi tragis yang tak ada ujungnya," ucap Chicco.

Ariel Tatum pemeran Fatimah; dan Chicco Jerikho pemeran Isa

Pengkhianatan yang dilakukan karakter Fatimah menurut Ariel tidak dapat sepenuhnya dianggap antagonis. Fatimah tetap berjuang dengan kegundahan hatinya dalam mengurus urusan domestik, juga mengurus anak yang dibawa Isa ke dalam rumah mereka.

"Fatimah adalah ibu rumah tangga yang berselingkuh dengan Hazil, teman seperjuangan suaminya di versi buku. Namun, Mouly memberikan sedikit transformasi di filmnya. Fatimah membawa persona sosok perempuan yang tangguh dan mewakili perempuan pada masanya. Fatimah adalah sosok yang kuat dan keras. Masa 1940-an bukam masa yang mudah bagi perempuan. Saya bangga Mouly menerjemahkan Fatimah sebagai sosok perempuan yang memiliki daya resiliensi tangguh di tengah perang yang berkecamuk," ucap Ariel.

Selain tiga pemeran tersebut, banyak aktor dan aktris ternama yang turut terlibat dalam film "Perang Kota". Mereka adalah Alex Abbad, Anggun Priambodo, Ar Barrani Lintang, Chew Kinwah, Dea Panendra, Faiz Vishal. Imelda Therinne, Indra Birowo, dan Rukman Rosadi. Menurut Imelda Therinne yang memerankan Mayang, menjadi wanita di era tersebut memiliki tantangan tersendiri.
Imelda Therinne, pemeran Mayang

"Mayang menjalani bisnis cafe di saat Indonesia sedang mengalami masa transisi dari baru merdeka ke pertumbuhan bisnis," ucap Imelda.

Ko-produksi Banyak Pihak

Film ini merupakan ko-produksi antara Indonesia, Belanda, Prancus, Nirwegia, Kamboja, Filipina dan Singapura. Selain itu juga merupakan ko-produksi Giraffe Pictures, Volya Films, Shasha & Co. Production, DuoFilm AS, Epicmedia, Qun Films dan Kongchak Pictures.

Produser film ini mencakup Chad Parwez Servia, Fauzan Zidni, Tutut Kolopaking dan Rama Adi. Selain itu juga ada Willawati sebagai produser eksekutif. Produser Indonesia dan internasional berkolaborasi memproduksi film ini. Para produser internasional mencakup Anthony Chen, Axel Hadiningrat, Bianca Balbuena, Bradley Liew, Tan Si En, Denis Vaslin, Giovanni Rahmadeva, Fleur Knopperts, Inggrid Lill Hongtun,  Isabelle Glachant, Linda Bolstad Strønen, Loy Te, Marie Fuglestein Lægreid, dan Siera Tamihardja.

"Ko-produksi dengan para rumah produksi dan kru internasional memberikan nilai tambah bagi film 'Perang Kota'. Secara nilai produksi juga menjadi lebih meningkat. Ada kontribusi dengan berko-produksi bersama para kru internasional dan para kru perfilman Indonesia. Terutama untuk VFX yang menjadikan film 'Perang Kota' bisa merepresentasikan visual Jakarta 1946 menjadi lebih sempurna. Lewat kolaborasi internasional ini juga menjadi pertukaran informasi dan pengetahuan bagi sesama pekerja film kita," ucap Rama Adi, produser dari Cinesurya.

Starvision memiliki komitmen untuk mendukung film-film yang menjelajahi tema-tema yang jarang dieksplorasi sineas Indonesia. Film 'Perang Kota' merupakan perwujudan dari komitmen tersebut. Selain itu, film ini juga menjadi upaya memberikan keragaman genre dan tema untuk mendorong pertumbuhan industri perfilman Indonesia.
Chand Parwez Servia, produser dari Starvision

"Film 'Perang Kota dapat dihadirkan berkat tangan dingin Mouly Surya. Benar ini adalah film berlatar belakang periodik berlatar 1946. Namun, film ini menggambarkan realitas sehari-hari yang membuat kita memiliki sisi baru dalam merepresentasikan diri. Starvision selalu percaya dengan visi yang dibawa oleh sineas dengan daya  eksplorasi terhadap penceritaan yang menawarkan perspektif baru dalam sinema Indonesia. Mouly Surya memberikan kita suatu karya yang akan memantik kemungkinan-kemungkinan baru yang jarang diceritakan melalui film ini," ucap Chand Parwez Servia, produser dari Starvision.

Hal senanda disampaikan oleh produser eksekutif dari Kaninga Pictures, Willawati. Kaninga selalu mendukung film-film dengan kisah kompleks dan memiliki visi yang kuat. Menurutnya, film 'Perang Kota' memiliki hal tersebut.

Willawati, produser eksekutif 'Perang Kota'

"Suatu kehormatan untuk dapat kembali bekerja sama dengan Cinesurya, kali ini dengan skala produksi yang lebih besar. Semoga film ini bisa menghadirkan warna unik yang memperkaya katalog perfilman Indonesia yang kian beragam," ucap Willawati.
Share:

Related Posts:

Artikel Terkini